This essay has been submitted by a student. This is not an example of the work written by professional essay writers.
Uncategorized

DEMOKRASI DI INDONESIA

Pssst… we can write an original essay just for you.

Any subject. Any type of essay. We’ll even meet a 3-hour deadline.

GET YOUR PRICE

writers online

DEMOKRASI DI INDONESIA

Demokrasi merupakan sebuah kata sangat sering di ucapkan. Namun, maka dari itu banyak yang dibahas makin terasa sangat sulitnya mencari contoh tentang negara yang memenuhi tatanan demokrasi secara sempurna. Di Negara tercinta kita Indonesia, pencarian terhadap Demokrasi pun masih selalu digelar, baik itu dari segi aras praktik system politik atau kajian akademik. Dalam aras pada akademik, sejumlah makalah dikupas habiis-habisan dalam berbagai seminar yang di adakan. Selain itu, sejumlah buku ataupun artikel pidato para pakar dan politis, telah pula di terbitkan kedalam jurnal ilmiah, koran dan majalahnya. Akan tetapi, berbeda dengan di negara-negara berkembang lainnya. Dengan semaraknya perbincangan tentang dari mana system dimana demokrasi di Indonesia bukanlah karena bangsa atau juga pemerintah di negeri ini tidak lagi mengenal yang namanya system demokrasi. Justru sebaliknya lagi, bangsa di Indonesia pada aras implementasi system politik juga banyak memahami tentang varian-varian demokrasi di dunia. beberapa di antaranya bahkan telah di ujicoba untuk negeri ini seperti demokrasi liberal, demokrasi parlementer, dan demokrasi Pancasila. Namun perlu kita ketahui berbagai varian demokrasi ini juga mengalami kegagalan yang memberikan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang memang berbasis pada nilai-nilai dan kaidah demokrasi kedalam arti yang sebenar-benarnya. Ketika pada era reformasi berkembang menyeruak kedalam tananan kehidupan pada politik Indonesia, Sebagian besar pada masyarakat berharap akan lahirnya tatanan dan system perpolitikan yang benar-benar demokratis. Namun, setelah hampis lima tahun berjalan, dalam praktik-praktik politik dan kehidupan yang berbangsa dan bernegara yang demokratis belum juga menampakan arah yang sesuai dengan kehendak reformasi. Demokrasi pun kemudian dipertanyakan dan juga di gugat Ketika sejumlah praktik politik yang mengatasnamakan demokrasi seringkali justru menunjukkan paradoks dan ironi. Gugatan terhadap demokrasi ini juga sesungguhnya memiliki revevansi yang kuat dalam akar sejarah dan sosiologi politik bangsa Indonesia. Pada dalam konteks itulah, tulisan ini hendak melihat bagaimana perjalanan demokrasi di negrasi ini, yang kemudia hari akan dianalisis guna untuk membaca prospek demokrasi pada Indonesia di masa depan dengan menganbil contoh pada kasis Pemilu dan juga Pilkada. MASA ORLA Persoalan yang terdapat pada seputar demokrasi bukanlah sesuatu yang memiliki sifat alamiah dan juga dapat tumbuh dengan sendirinya dalam kehidupan berbabngsa. Akan tetapi seperti dikatan pada Apter (1963), persoalan yang demokrasi adalah semata-mata yang merupakan ppenciptaan manusia, yang di salah satu sisi mencerminkan keterbatasan dan keharmonisan obyektif di luar diri pada manusia. Beranjak dari semangat dan juga kerangka proposisi di atas, maka dengan melumernya dengan corak demokratik dan egaliter sebagai cita-cita sesungguhnya dengan budaya Indonesia sangatlah dipengaruhi oleh perkembangan sosial, ekonomi dan politik yang terdapat di Indonesia. Dapat diambilkan contoh kasus Ketika terjadinya proses pemindah alihan dan juga kekuasaan beantenstaal Belanda dan ke tangan Republik, ternyata justru tidak juga membawa perubahan yang juga berarti. (Feith, 1871). Perubahan-perubahan dan yang terjadi lebih banyak dari bergeraknya pada peringkatnnya estesis-simbolik ketimbang dari etis-substantif. Semangat egalitarian budaya demokratik yang juga terpatri dalam angan-angan pada masyarakat menjadi sirna, setelah adanya pernyataan kemerdekaan yang di coba untuk mewujudkan sevara Demokrasi Indonesia. Dari Masa ke Masa (Hartuti Purwaneni) politik kedalam bentuk pemilihan pada demokrasi liberal dan parlementer, dan secara ekonomis pun dalam bentuk pilihan terhadap penciptaan kelas menegah pribumi yang kukuh (Bulkin, 1984). Obsesi dari pilihan politik dan juga ekonomi semacam ini merupakan terbentuknya system ekonomi dan kapitalis yang mampus menompang tegaknya pada masyarakat yang bedara (civil society). Jika hal ini dapat di wujudkan diharapkan demokrasi akan menampakkan dirinya secara nyatanya. Namun sangat disayangkan, bahwa peryaratan yang hendak diwujudkan tersebut, yang terutama adanya hanya di kelas menengah yang memiliki kekuatan sebagai actor sentral untuk menompang demokrasi, dan tidak ditemukan. Pembangunan semestanya yang dicanangkan Presiden Soekarno hanya untuk mengunah perekonomian colonial menjadi sebuah perekonomian nasional yang bercorak lebih sosialis dan terbukti gagal total, akibatnya tidak hanya dukuran sturktur politik dan yang mapan dan berdemokrasi. Kelas menengah yang mampu diharapkan lahir pun sulit untuk ditemukan. Kegagalan praktek pemburnian demokrasi liberal dan parlementer lalu direduksi sebagai kegagalan penerapan demokrasi ala barat yang bertentangan dengan jari diri dan juga budaya bangsa Indonesia, namun tidak sengaja diabaikan kenyataan bahwa kegagalan pada penerapan demokrasi ala barat itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh rapuhnya bangunan system pad apolitik yang berpijak kepada idelogi-kultural dan kerposnya system ekonomi saat itu. Maka dari itu, Soekarno mencoba sebuah system Demokaris terpimpin, yang katanya menjadi dari demokrasi khas Indonesia. Sekalipun Soekarno mengatakan bahwa pemenrintahnnya menganut system sebuah Demokrasi, namun dari itu praktik yang meluas dalam kehidupan bangsa dan juga negara justru adalah kekuasaan yang seba terpusat (sentralistik) pada diri Soekarno. Bung Karno selaku dengan Presiden bahkan memperagakan pemerintah dictator yang membubarkan kostutuante, Psi, dan juga Masyumi serta meminggirkan lawan-lawan politik yang kritis. Kekuasaan otoriter yang anti demokrasi pada masa Order Lama itu akhirnya tumbang pada tahun 1965. MASA ORBA Seiring dengan kegagalan yang perbumian yang pada masa orde Lama tersebut, unsur-undur di luar masyarakat secara perlahan-lahan tumbuh dan berkembang menjadi wahana tumbuhnya logika dan perjabaran baru dan bangsa Indonedisia. Pad Order Baru, Diinterpresentasikanbahwa budaya politk dan dijabarkan sedemikian rupa sehingga negara bertindak sebahai aktir tunggal dan sentral Logika penempatan negara sebagaimana actor tunggal ini terakulasi melalui pengesahan secara tegas dan mutlak bagi sentralitas negara dan dengan seluruh perangkatan birokrasi dan militernya demi kepentingan pembangunan ekonomi dan politik. Di sinilah kemudian terjadi proses penyingkiran corak egaliter dan demokraatrik dari budaya bangsa Indoensia dan kemudian digantikan olhe corak feodalistik, yang dimungkinkah karena dua hal pokok. Yang pertama adalah melului integrasi, permbersihan dan penyatuan birokrasi negara dan juga militer di bawah satu komandi. Upaya ini yang membuka jalan untuk penjabaran dan pemberian logika baru dalam masa feodalisme budaya untuk bangsa Indonesia secara nyata dan juga operasional. Jabaran dan logika baru ini yang semakin menemukan momentumnnya yang berkaitan dengan adanaya kenyataan di masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi yang snagatlah parah di satu pihak, dan juga obsesi negara untuk membangun pertumbuhan ekonomi sebagai mana peletak dasar penghapusan kemiskitan di lain pihak. Kedua, pengatuhnya negara qua negara juga dilakukan untuk memalui upaya dimana penyingkiran politik massa. Partisipasi poltik yang terlalu luas dan tidak terkontrol, dianggap dapat membahayakan stabilitas politik yang merupakan conditio sine qua non bagi berlangsungnnya pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, keterbatan negara melalui apparat birokrasi dan miliiter diabsahkanhingga menjangkau ke seluruh aspek pada kebihupan masyarakat. Stabilitas pada pembangunan ekonomi ini lantas diidentikkan dengan stabilitas pada nasional. Perlahan-lahan konsep pada stabilitas nasional diperluas menjadi sebuah logika anti-kritik dan anti konsep. Sebagaimana lorika pada anti-kritik, stabilitas nasional dikaitkan dengan masalah-masalah security dan banyak berfungsi untuk membantu penyelanggaraan mekanisme kekuasaan negara. Sebagimana logika anti konsep, stabilitas nasional dikaitkan dengan masalah legitimasi dan banyak berfingsi untuk mendukung seni mengelola otoritas kekuasaan negara. Yang terjadi kemudian adalah sentralisasi peran negara yang dipersonifikasikan lewat Soeharto, MPR, DPR, Pers, Parti Politik, Ormas dan hamper seluruh institusi sosial politik kenegaraan yang dipasung secara sistematik di bawah dan kendali negara oleh Soeharto. Yang lahir dalam siatuasi seperti itu adalah demokrasi semu, demokrasi jadi-jadian. Parakdoks demokrasi ini pada akhirnya juga runtuh pada tanggal 21 Mei 1998. ERA REFORMASI Pada masa reformasi, Aspinall (2004) mengatakan bahwa Indonesia sedang mengalami saat dimana demokrasi. Inisiatif politik yang dimotori oleh Amien Rais mendorong reformasi terus bergulir. Reformasi yang selalu gegap gempitatersebut memberikan secercah harapan akan adanya munculnya tata kehidupan yang benar-benar demokratis, yang ditandai dengan booming yang munculnya banyak parpol yang baru, kebebasan yang berserikat, kerdekaan yang berpendapat, kebebasan pers, dan sebagainya, dan Demokrasi Indonesia, Dari masa ke Masa ( Hartuti Purwaneni) yang merupakan ciri_ciri dari demokrai yang muncul dari tuntunan-tuntunan terhdap reformasi politik dari adanya optimism yang memiliki perbaikan implementasi dan juga demokrasi. Namun, adanya di balik dinamika reformasi yang penuh dengan akselerasi tinggi, nampaknnya masih juga belum banyak kekuatan-kekuatan sosial dari politik yang benar-benar memiliki kesungguhan untuk menggelindingkan untuk demokrasi. Sekalipun dengan adanya berbagai pranata bangunan demokrasi kini telah terbentuk, namun dengan di sana sini paradoks demokrasi yang memiliki bersifat procedural kelembagaan ketimbang dengan demokrasi yang mengacu pada tata nilai. Berbagaimana paradoks yang masih berkembang di era reformasi sering membuat kita untuk berpikir ualng demi mengedepanlan pertanyaan kristis bahwa apakah masa transisi ini akan bisa di lalui dengan baik sehingga terbentuknnya consolidated democracy atau kita gagal dalam memlalui sehingga yang muncul adalah consolidated anarchy yang dapat mengiringi kita kembali kedalam system otoritarian dan militeristik. FENOMENA PILKADA Dalam konteks pada kehidupan politik demokrasi di Indonesia, pada pemilu dan pemilihan pekala daerah (pilkada) langsung merupakan salah satunya sarana untuk mewujudkan untuk kehidupan politik yang demkratis . pemilu terutama yang baru saja untuk dilaksanakan pada tahun 2004 , dan juga pilkada langsung yang akan dimulai pada tahun 2005 untuk memilih mana gurbernur, bupati atau walikato mempunyai untuk makna stategis, tidak saja karena sifatkan yang berbeda dengan pilkada-pilkada pada sebelumnnya, namun yang lebih penting adalah bahwa dengan Pemilu pada 2004 dan Pilkada secara langsung Itulah massa depan politik Indonesia Dipertaruhkan. Hampir dapat kita pastikan bahwa dalam sebuah periode menjelas adanya pemilu dan pilkada situaasi dan kondisi politk seringkali diwarnai dengan adanya berbagai persaingan dan konflik antara kekuatan politik, Yang menjadi sebuah persoalan adalah bagimana kita dapat mengelola dan mengendalikan persaingan serta kemungkinan konflik yang akan terjadi dinatara kekuatan politik yang ada sehingga tidak mencuatkan sebuah situasi anarkhisme dan juga kekerasa politik. Bisakah kita berharap pada sebuah pengakan pada aturan main pemilu dan juga pilkada sebagaimana tonggak sejarah pengembangan proses politik menuju pada transisi demokrasi. Hal ini yang perlu diamati juga dalam sebuah kondisi ini adlaha kemungkinan terkalahkannya Gerakan reformasi oleh kekuatan-kekuatan bersenjata dan kekuatan penguasa sumber daya produktif masyarakat. Berdasarkan hal itu tersebut munculnya pertanyaan tambahan yakti seberapa besar peluang yang kita miliki untuk menggunakan sebuah pemilu dan juga pilkada sebagai wahana untuk mencegah kemungkinan reformasi berjalan mundur dan juga menuju kemballinya otoritarianisme system politik kita dalam terbentuknnya yang mana baru. Hampir dapat kita pastikan bahwa dalam setiap mana peride menjelas sebuah pemilu dan pilkasa situasi dan kondisi politik seringkali diwarnai dengan adanya persaingan dan jug akonflik antara kekuatan politik. Yang menjadi sebuah persoalan adalah sebagaimana dengan kita dapat mengelola dan juga mengendalikan persaingan yang serta kemungkinan konflik dan yang akan terjadi antar kekuatan dari politik yang sedemikian ada sehingga tidak akan mencuatkan situasi kepada anarkhisme dan juga kekerasan pada politik, kita bisa berhadrap kepada sebuah penegakan aturan mainnya pemilu dan juga pilkada sebagaimana tonggak sejarah sejarah dan pengembangan proses untuk meunuju kepada transisi pada demokrasi. Hal perlu kita ketahui diamati juga kedalam kondisi ini merupakan kemungkinan dari terkalahkannya Gerakan pada reformasi dengan kekuatan-kekuatannya yang memiliki dan bersenjata dan kukuatan penguasa pada sumber daya produktif dan juga masyarakat. Berdasarkan dengan hal tersebut muncul kepada pertanyaan tambahan yakni sebarapa besar dari peluang yang kita miliki dan juga untuk menggunakan untuk pemilu dan juga pilkada sebagaimana wahana untuk mencegah kemungkinan untuk reformasi dan berjalan mundur untuk menuju kepada kembalinya otoritarianisme dengan system politik kita kedalam bentunnya yang baru. Untuk menjawad semua pertanyaan-pertanyaan tersebut kita sebagaimana harus memahami dengan baik dimana kompetisi dan konflik dari politik sejak runtuhnnya rezim Soeharto. Pemahaman itu pada akhirnya akan bergiliran dengan paling sedikit menuntut pemahaman lebih khusus terhadap tigak hal yang sangat kita petingkan. Setalah kita melewati Pemilu pada 1999 yang sebagaimana besar masyarakat, tidak saja nasional tetapi juga internasional, yang diakui sebagaimana pemilu yang paling demokratis di Indonesia, di kalangannya sebagaimana dari kita seakan berkembang harapan baru bahwa di negiri kita ini akan segera terbangun konsolidasi demokrasi, yang kemudian disusul dengan system politik yang benar-benar demokratis. Harapan yang nampaknnya akan menjadi mimpi di siang hari bolong. Yang terjadi adalah bukannya konsolidasi demokrasi tetapi justru perkembangnnya kea rah apa yang kita sebut sebagai frozen democracy yang anatar lainnya ditandai dengan berkembangnnya konflik etnis, maraknnya kekeran yang politik secara kolektif, dan juga lokalitas politik yang berlebihan. Masa transisi demokrasi menjadi titik dari krusial yang membuat kita semua menjadi bagian dari masyarakat yang oleh Turner dinamakan sebagai liminality, suatu masyarakat yang digambarkan tidak berada di sana dan tidak oula berada di sini. Atau dengan Bahasa sosiologisnya sebagai masyarakat yang anomaly dan yaitu suatu masyarakat yang tidak lagi mempunyai penangan nilai-nilai. Berkembangnnya masyarakat liminalitas atau anomaly di satu sisi adalah karena mereka yang menjadi anti struktur, dan di sisi lainnya masyarakat tidak akan lagi dapat melihat dan juga menemukan keteladanan, panutan, atau juga pengamanan-pengalaman baik dari pada struktur politik maupun juga perilaku elite politik yang sanagt pantas dijadikan sebagai model dan acuan kedalam kehidupan mereka sehari-harinya. Dalam kondisi demikian kesediaan kita untuk menyerahkan kita kedalams emua proses politknnya pada serangkaian prosedur dan aturan main yang kita sepakati Bersama menjadi cukup merepotkan. Lebih-lebih masyarakat banyak menyaksikan para elit politik yang melakukan berbgai pelanggaran terhadap aturran-aturan main dan juga proseddur yang disepakati Bersama. Yang kita saksikan kemudian adalah berbagai penyimpangan yang dilakukan secara kolektif, baik dengan dalam aras politik dan juga ekonomi. Dalam masa pada transisi ini pula kita akan disaksiskan konflik-konflik yang inheren dan juga terjadi secara bersamaan di dua front sekaligus. Pada front pertamnnya antara opponents dan juga defenders dari kekuatan otoritarian, dan pada front kedua antara kekuatan-kekuatan proto untuk demokratik yang saling merebutkan posisi terbaik kedalam kompetisi memperoleh the allocation of authoritative value di bawah dan system demokrasi. Padahal sebagaimana konsolidasii demokrasi idealnya terjadi Ketika sebuah konflik yang terjadi pada front yang pertama akankah berhasil membangun kelembagaan demokrasi sebagaimana satu-satunya landasan dimana arena bagi konflik politik yang terjadi kepada front yang kedua, Ketika tidak ada salah satu actor politik pun yang memiliki kesempatan untuk kita bertindak di luar institusi-institusi demokrasi, dan Ketika salah satunya Tindakan yang akan diambil oleh semua kekuatan yang menderita kekalahan di dalam kompetisi politik adalah menyiapkan diri untuk memperoleh kemenangan di dalam putaran persaingan politik yang akan dating lagi. RIDING THE TIGER Dihadapkan kepada fenomena dinamika dan juga realitas politik sebagaimana digambarkannya di atas, kehadiran kepada Pilkada yang akan dimulai dan dilaksanakan pada tahun 2005 menjadi menarik untuk dicermati. Bukankah tidak mungkin Pilkada 2005 yang akan secara langsung memilih sekitar 176 Bupati dan Walikota se-Indonesia mengibaratkan kita semua sedang berada kedalam kondisi riding the tiger yakti berada dalam situasi dimana kita dihadapkan pada kondisi yang problematic. Dan jika pilkada tersebut gagal dalam menciptakan konsolidasi demokrasi kekhawatiran akan kembalinnya otoritarianisme yang semakin terbuka lebar, dan juga sebaliknnya jika pun berhasil dilaksanakan maka optimism terhadap terciptanya konsolidasi demokrasi juga masih diragukan. Beberapa hal yang dapat menyebabkan kita seakan dalam potensi kondisi riding the tiger tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, kehadiran landasan yudiris berupa UU pemerintah daerah No 32/2004 sebagaimana revisi UU No 22/1999, masih menyisakan berbagai Jurnal Administrasi Publik, Vol 3, No 2, 2004 problem Ketika aturan organic dan pasal-pasalnnya yang ada tidak memberikan jaminan bagi berlangsugnnya pilkada yang jurdi dan juga luber. Berbagai kelemahan pada UU Pemda tersebut bisa jadi akan mendorongnnya Kembali dan munculnnya otoritarianisme partai sebuah politik. Seperti yang kita ketahui Bersama bahwa dalam UU tersebut partai politik menempati posisi yang begitu sangatnnya powerful dalam sebuah proses rekruitmen calon pejabat public. Kedua, kehadiran UU no 32 tentang Pemda tahun 2004 di satu sisi telah memberikan peluang baru bagi proses demokratisasi, khususnya di tingkatan politik local, tetapi di sisi lainnya juga mengundang sangat banyak masalah dengan banyaknya persoalan yang gramatikal dan perumusan berbagai pasal. Misalnnya dalam pasal yang menunjukan pada persoalan persyaratan. Perumusan pasal tersebut mempunyai kesalahan gramatikal yang menyebabkan ia tidaklah mempunyai makna yang sanagt jelas. Ketiga polarisasi antar kekuatan politik yang berbasis aliran ataupun juga kekuatan politik yang pro-reformasi dan juga status quo sangat memberikan peluang bagi berkembangnnya political split sehingga konflik horizontal akan bersemai di dalamnnya. Kekhawatiran political split sehingga konflik horizontal akan bersemai di dalamnnya. Kekhawatiran kembalinnya kekuatan politik model rezim orba yang hegemonic di satu sisi, dan sisi lainnya adanya was-was politik dengan mulainnya bangkitnya Kembali partai golkar yang dapat dibaca sebagai representasi kekuatan politik Orba yang menjadikan kebimbangan bagi para analisis politik dan juga sekaligus warning bahwa Pilkada demokrasi, atau juga Kembali pada otoritarianisme Keempat, di samping adannya persoalan konsepsional yang berkaitan dengan KPU dan juga KPUD, Lembaga ini juga tengah dihadapkan tidak saja pada sebuah persoalan teknis operasional, tetapi juga dengan tengah ditantang dengan berbagai upaya untuk melakukan sebuah deligitimasi politik dengan baik pada tingkat institusional maupun juga pada kapabilitas individu-individunya. Bebagai persoalan yang terkait dengan dukungannya yang finansial di berbagai pemerintah kabupaten/sebuah kota setidaknnya telah membuat KPUD di berbagai daerah kedodoran. Selain itu juga keberadaan KPUD kadang sangat terkesan hanya untuk sebagai pelaksana teknis dan juga pemilu KPU pusat, sehingga di banyak sekali daerah muncul kesan-kesan kebingungan dan seringkali mereka dianggap seolah menjadi bumper dari sebuah political fallacy yang dilakukan oleh KPU Pusat. Kelima, problem dalam KPU dan juga KPUD ini telah memberikan sebuah implikasi terhadap berbagai persoalan strategis yang seharusnnya dilakukan kepada KPU dan juga KPUD. Soal dari jiducual review UU No 32/2004 misalnnya, di salah satu sisi KPU meminta agar dilakukannya revisi pada UU terrsebut, namun pada di sisi lain KPUD mengatakan bahwa tidak sanagtlah perlu ada peninjauan ulang. Konflik anatara KPU dan juga KPUD di satu sisi, sedangkan di sisi lainnya juga dengan pemerintah telah membuat kebingungan sebagaimana besar masyarkaat yang kurang paham terhadap dengan tidak saja aturan main, namun juga terhadap system pemilu itu sendiri. Jikalau kebingungan massal ini terus berlanjut, dapat diperkirakan hal ini akan terjadi trigger atau juga amunisi bagi kekuatan politik lama untuk mengejek ketidak becusan pemerintah baru di dalam mengurusi pesta demokrasi yang terjadi saat ini. MEMBANGUN DEMOKRASI Membangun institusi-institusi demokratik adalah prasyarat penting bagi peletakan sistem politik demokratis. Demikian pula Pilkada langsung yang akan dimulai tahun 2005 mendatang merupakan proses politik strategis menuju kehidupan politik demokratis. Hal yang tak kalah penting adalah upaya kita agar terbangunnya etika dan moralitas politik baru, khususnya di kalangan para elit dan tokoh politik, yang sebangun dengan tuntutan sistem politik demokratik. Prasyarat penting yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan itu adalah terbangunnya kebudayaan dan kepribadian politik demokratik yang menurut Gould (1998) meliputi elemen-elemen: inisiatif rasional politik, kesantunan politik, disposisi resiprositas toleransi, fleksibilitas dan open mindness, komitmen, kejujuran, dan akhirnya keterbukaan. Dengan demikian berarti, terbangunnya etika dan moralitas politik yang berkeadaban demokratik merupakan prasyarat yang tidak dapat ditawar lagi. Dalam sosiologi masyarakat Indonesia yang kental diwarnai dengan budaya paternalistik dan feodalisme, tugas untuk mewujudkan semua tuntutan di atas tentulah akan kembali menjadi tugas bagi para elit dan tokoh politik untuk mengartikulasikannya. Sayangnya perilaku politik para tokoh dan elit politik saat ini nampaknya masih jauh dari apa yang dijelaskan oleh Gould. Terlalu sulit untuk menemukan elit politik yang mempunyai moralitas dan etika politik yang mencerminkan kesantunan, kejujuran, keadilan dan toleran dalam kehidupan politik sehari-hari. Mengingat corak sosiologis masyarakat kita yang masih kental diwarnai paternalistik, dalam implementasinya perilaku santun, toleran, jujur, dan berkeadaban para elit dan tokoh politik akan dapat dilihat dari terbangunnya komunitas politik yang disebut Suharso (2000) sebagai followership. Followership disini dijelaskannya sebagai gambaran karakter yang mempunyai kesediaan untuk bekerjasama, kemampuan untuk mengendalikan egonya, serta politicall efficacy dengan corak komunitas politik yang aktif, partisipatif, kritis, terbuka, toleran dan tetap patuh pada aturan main. Tanpa followership, suasana bebas dalam demokrasi cuma sekedar jadi ajang bebas saling menjatuhkan dan bebas saling menjegal. Kebebasan dalam demokrasi lalu diartikan sebagai bebas untuk terus-menerus berebut kursi kekuasaan. Jika konfigurasi perilaku elit dan tokoh politik mampu mewujudkan tuntutan di atas sekaligus dapat menciptakan public opinion yang positif bahwa dalam perebutan the allocation of authoritative value dilakukan di atas prinsip etika dan moralitas politik demokratik, kita dapat lebih tentram dalam menyongsong kehadiran Pilkada langsung 2005. Sebaliknya jika gagal, sangat mungkin masyarakat akan mengalami ketakutan, kecemasan dan was-was politik. Pilkada langsung yang dianggap sebagai pesta demokrasi yang seharusnya dapat mendorong rasa senang dan antusias, dapat berubah menjadi teror politik yang menakutkan sekaligus menciptakan phobia politik masyarakat. Kemudian pada aras budaya politik pula diperlukan upaya membangun otonomi masyarakat. Bagaimana agar masyarakat, baik elite maupun awam menunjukkan mentalitas yang mandiri sebagaimana dikenal dalam civil society adalah agenda mendesak yang perlu dipikirkan. Jika demokrasi juga mencakup sikap budaya dan tidak sekedar tatanan politik yang hanya diimplementasikan dalam teks-teks politik, maka pemberdayaan berpolitik menjadi salah satu prasyarat penting pula dalam membangun demokrasi. Dengan kata lain, untuk memasuki iklim demokrasi yang benar dan baik perlu pendewasaan, sebab untuk mendirikan (sistem) demokrasi bukan hanya perlu kebebasan berserikat. Bukan pula hanya kualitas pers yang bebas, tetapi juga kualitas ketanggapan pembacanya. Bukan hanya kebebasan mimbar atau kebebasan berbicara semata, tapi juga kedewasaan pembicaraannya. Jangan hanya muncul tuntutan terhadap perbaikan kualitas legislatif yang bisa menyuarakan hati nurani rakyat, tetapi juga kualitas eksekutif agar bisa menangkap suara hati nurani rakyat. Tanpa pemahaman dan kedewasaan, demokrasi akan berubah menjadi demo-crazy dan hanya akan membingungkan rakyat sebagaimana dilukiskan Pudjo Suharso dalam sajaknya seperti yang saya kutip pada awal tulisan ini. Last but not least, di balik semua perdebatan teoretik tentang demokrasi, juga di balik semua tuntunan bagi demokratisasi negeri ini yang datang dari segenap penjuru, tampaknya tak cukup muncul suatu kesadaran mendasar bahwa demokrasi sebenarnya adalah sebuah proses yang seharusnya berjalan sejak tingkat individual, dan bukan semata-mata sebuah proses besar kelembagaan yang kasat mata. Semboyan seorang demokrat adalah ″aku mungkin tak setuju dengan pendapatmu, tapi aku akan mati-matian berjuang agar kau bisa menyuarakan pendapat itu″. Semboyan inilah yang tak pernah bisa hadir dalam masyarakat kita. Jika esensi demokrasi pada tingkat individual ini bisa diinternalisasi oleh setiap aktor dan komunitis politik, maka upaya-upaya penegakan demokrasi pada arus struktural maupun kultural akan lebih menemukan persemaian subur. Sudah siapkah kita semua ke arah itu? Wallahu alam bishawab.

 

  Remember! This is just a sample.

Save time and get your custom paper from our expert writers

 Get started in just 3 minutes
 Sit back relax and leave the writing to us
 Sources and citations are provided
 100% Plagiarism free
error: Content is protected !!
×
Hi, my name is Jenn 👋

In case you can’t find a sample example, our professional writers are ready to help you with writing your own paper. All you need to do is fill out a short form and submit an order

Check Out the Form
Need Help?
Dont be shy to ask