ETIKA BERBANGSA DAN BERNEGARA DI INDONESIA
Pengertian Etika Etika secara (Etimologi), berasal dari bahasa Yunani adalah “Ethos”, yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu “Mos” dan dalam bentuk jamaknya “Mores”, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan), dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk. Etika dan moral lebih kurang sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari-hari terdapat perbedaan, yaitu moral atau moralitas untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika adalah untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Etika adalah Ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. 2.2 Dasar Prinsip Etika Bernegara Etika merupakan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan etika adalah barometer peradaban bangsa. Suatu bangsa dikatakan berperadaban tinggi ditentukan oleh bagaimana warga bangsa bertindak sesuai dengan aturan main yang disepakati bersama. Perilaku dan sikap taat pada aturan main memungkinkan aktifitas dan relasi antar sesama warga berjalan secara wajar, efisien, dan tanpa hambatan. Masyarakat Jawa misalnya, dituntut dan diajarkan untuk memahami benar tentang arti penting etika. Sebab, etika yang juga sering disebut unggah-ungguh, tata krama, sopan santun, dan budi pekerti membuatnya mampu secara baik menempatkan diri dalam pergaulan sosial, dan itu akan sangat menentukan keberhasilan dalam hidup bermasyarakat. Begitu pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, etika akan menjelaskan mana tingkah laku yang baik, apa yang pantas, dan apa yang secara substansi mengandung kebaikan dan sebaliknya. Bagi bangsa timur seperti Indonesia, etika telah mendarah daging dimiliki dan diterapkan dalam kerangka penghormatan terhadap nilai kebaikan, kemanusiaan, dan keadilan kolektif. Karena itu, kita masih yakin dan percaya, etika mengalir menjadi bagian kultur sosial dan antropologis bangsa Indonesia. Bahkan secara natural genetis, didalam diri bangsa mengalir sifat-sifat luhur manusia yang ada perkembangannya, dirumuskan oleh faonding peoples kedalam pancasila, dan selanjutnya disepakati sebagai dasar dan orientasi bernegara. Melalui pancasila inilah, para pendiri negara menggariskan prinsip-prinsip dasar etis bernegara yang demikian jelas dan visioner. Prinsip-prinsip dasar pancasila yang di tuangkan dalam UUD 1945 yang di sahkan PPKI pada 18 agustus 1945, tidaklah hadir sebagai intuitif dan tiba-tiba jatuh dari langit melaikan melalui proses pengadilan mendalam. Meskipun baru dibahas dan dikemukakan dalam sidang BPUPKI menjelang Indonesia merdeka pemikiran mengenai prinsip-prinsip dasar dan bernegara sebenarnya telah muncul dan di persiapkan jauh-jauh sebelumnya. Jauh sebelum Indonesia merdeka, berbagai pemikiran mengarah kepada gagasan terciptanya konstruksi kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. Beragam pemikiran dan gagasan mengenai politik, fundamen etis dan moral bangsa, ideologi, dan visi kebangsaan itu kemudian bersintesis menggali dan mengakomodir nilai-nilai etika dan moral dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara., baik dibidang politik, sosial, ekonomi dan lain-lain untuk di tuangkan kedalam UUD 1945. Di dalam pembukaan UUD 1945 nilai etika dan moral terdapat diseluruh pokok pikiran. Yang kemudian nilai-nilai itudijabarkan kedalam pasal-pasal UUD 1945 itu sebabnya, UUD 1945 sejatinya merupakan sintesa nilai etika dan moral yang diangkat dari niali-niali luhur bangsa Indonesia yang dikenal religius, berprikemanusiaan, persatua, demograsi, dan keadilan. Hal ini sangat simetris dan sinergis dengan tujuan bernegara dan berkonstitusi yakni mengarahkan kepada moral kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Nilai-nilai luhur itu kemudian disepakati untuk di formalisasi dengan sebutan pancasila didalam pancasila itu ketuhanan di tempatkan sumber etika dan spiritualitas pada posisi yang sangat penting sebagai fundamen etik kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegasannya, Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler, karena Indonesia melindungi hidupnya semua agama dan keyakinan serta mengembangkan agama untuk bisa memainkan peran yang berkaitan dengan penguatan etika sosial. Dalam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia juga meruapakan fundamen penting bagi etika politik kehidupan bernegara. Pengakuan dan pemuliaan hak-hak dasar warga negara secara adil dan beradab merupakan prasyarat yang tak boleh diabaikan dalam bernegara. Pancasila juga menekankan prinsip persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Persatuan itu dikelola dalam konsepsi kebangsaan yang mengekspresikan persatuan dalam keragaman dan keragaman dalam persatuan. Dalam prinsip semacam ini, ada toleransi, ada ruang hidup untuk bisa menerima dan menghormati perbedaan yang ada. Perlu diketahui, negara Indonesia merdeka dikonstruksi di atas perbedaan, sehingga perbedaan itu bukanlah masalah tetapi justru menjadi sumber kekuatan. Dalam Pancasila terkandung pula prinsip bahwa nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan persatuan tersebut diaktualisasikan dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat melalui prinsip musyawarah mufakat. Nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, dan demokrasi menjadi landasan etik bagi upaya mewujudkan keadilan sosial dengan semangat kekeluargaan. Intinya, melalui Pancasila dan UUD 1945, prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara yang dibangun oleh para pendiri negara diarahkan untuk memajukan kepentingan umum (bonnum commune) dalam kerangka nilai-nilai ketuhanan, penghormatan terhadap kemanusiaan, mengedepankan persatuan, mengembangkan demokrasi, serta berorientasi mewujudkan keadilan sosial. Inilah prinsip-prinsip mendasar yang dijadikan acuan dalam merumuskan kehidupan demokratis berbasis etika dan moralitas. Dalam berpolitik misalnya, meskipun identik dengan cara meraih kekuasaan, UUD menggariskan politik sebagai seni yang mengandung kesantunan dan etika yang diukur dari pengutamaan moral. Pilihan para pendiri negara untuk menyandarkan politik pada prinsip demokrasi deliberatif yang mengedepankan pemusyawaratan dan bukan menang-menangan, merupakan keputusan terbaik untuk mengatasi segala paham golongan maupun perseorangan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya. Perbedaan, dalam hal ini tetap dijunjung tinggi sebagai sesuatu yang manusiawi dan alamiah. Terkait dengan implementasi hak asasi manusia (HAM), Pembukaan UUD 1945 menyelaraskannya dengan filosofi, budaya, serta struktur kemasyarakatan Indonesia. Dalam konteks filsafati, HAM akan terpenuhi manakala manusia juga menunaikan kewajiban asasinya. Karena itu, tegaknya HAM harus diartikan sebagai keseimbangan tegaknya hak asasi dengan kewajiban asasi. Demikian halnya dengan bidang ekonomi. UUD 1945 mengepankan prinsip kesejahteraan sosial dalam setiap aktifitas perekonomian yang berorientasi pada keadilan sosial. Pembangunan ekonomi harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan sosial yang menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan. Interaksi antar pelaku dalam ekonomi dilandasi oleh semangat keseimbangan, keserasian, saling mengisi, dan saling menunjang dalam rangka mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 2.3 Bergesernya Nilai-nilai Etika dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara Pembangunan nasional dalam segala bidang yang telah dilaksanakan selama ini memang mengalami berbagai kemajuan. Namun, di tengah-tengah kemajuan tersebut terdapat dampak negatif, yaitu terjadinya pergeseran terhadap nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pergeseran sistem nilai ini sangat nampak dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, seperti penghargaan terhadap nilai budaya dan bahasa, nilai solidaritas sosial, musyawarah mufakat, kekeluargaan, sopan santun, kejujuran, rasa malu dan rasa cinta tanah air dirasakan semakin memudar. Perilaku korupsi masih banyak terjadi, identitas ke-″kami″-an cenderung ditonjolkan dan mengalahkan identitas ke-″kita″-an, kepentingan kelompok, dan golongan seakan masih menjadi prioritas. Ruang publik yang terbuka dimanfaatkan dan dijadikan sebagai ruang pelampiasan kemarahan dan amuk massa. Benturan dan kekerasan masih saja terjadi di mana-mana dan memberi kesan seakan-akan bangsa Indonesia sedang mengalami krisis moral sosial yang berkepanjangan. Banyak penyelesaian masalah yang cenderung diakhiri dengan tindakan anarkis. Aksi demontrasi mahasiswa dan masyarakat seringkali melewati batas-batas ketentuan, merusak lingkungan, bahkan merobek dan membakar lambang-lambang Negara yang seharusnya dijunjung dan dihormati. Hal tersebut, menegaskan bahwa telah terjadi pergeseran nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bisa jadi kesemua itu disebabkan belum optimalnya upaya pembentukan karakter bangsa, kurangnnya keteladanan para pemimpin, lemahnya budaya patuh pada hukum, cepatnya penyerapan budaya global yang negatif dan ketidakmerataan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. 2.4 Memudarnya Kesadaran terhadap Nilai-nilai Budaya Bangsa Pembangunan di bidang budaya telah mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya pemahaman terhadap keberagaman nilai-nilai budaya bangsa. Namun arus budaya global yang sering dikaitkan dengan kemajuan di bidang komunikasi mencakup juga penyebaran informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronika berdampak tehadap ideologi, agama, budaya dan nilai-nilai yang dianut manyarakat Indonesia. Pengaruh arus deras budaya global yang negatif menyebabkan kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa dirasakan semakin memudar. Hal ini tercermin dari perilaku masyarakat Indonesia yang lebih menghargai budaya asing dibandingkan budaya bangsa, baik dalam cara berpakaian, bertutur kata, pergaulan bebas, dan pola hidup konsumtif, serta kurangnya penghargaan terhadap produk dalam negeri. Berdasarkan indikasi di atas, globalisasi telah membawa perubahan terhadap pola berpikir dan bertindak masyarakat dan bangsa Indonesia, terutama masyarakat kalangan generasi muda yang cenderung mudah terpengaruh oleh nilai-nilai dan budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian dan karakter bangsa Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya dan strategi yang tepat agar masyarakat Indonesia dapat tetap menjaga nilai-nilai budaya dan jati diri bangsa sehingga tidak kehilangan kepribadian sebagai bangsa Indonesia. 2.5 Melemahnya Kemandirian Bangsa Kemampuan bangsa yang berdaya saing tinggi adalah kunci untuk membangun kemandirian bangsa. Daya saing yang tinggi, akan menjadikan Indonesia siap menghadapi tantangan globalisasi dan mampu memanfaatkan peluang yang ada. Kemandirian suatu bangsa tercermin, antara lain pada ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memenuhi tuntutan kebutuhan dan kemajuan pembangunan, kemandirian aparatur pemerintahan dan aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, pembiayaan pembangunan yang bersumber dari dalam negeri yang semakin kukuh, dan kemampuan memenuhi sendiri kebutuhan pokok. Namun hingga saat ini sikap ketergantungan masyarakat dan bangsa Indonesia masih cukup tinggi terhadap bangsa lain. Konsekuensinya bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kurang memiliki posisi tawar yang kuat sehingga tidak jarang menerima kehendak negara donor meskipun secara ekonomi kurang menguntungkan. Kurangnya kemandirian, juga tercermin dari sikap masyarakat yang menjadikan produk asing sebagai primadona, etos kerja yang masih perlu ditingkatkan, serta produk bangsa Indonesia dalam beberapa bidang pertanian belum kompetitif di dunia internasional. 2.6 Pemecahan Masalah dalam Beretika Sebenarnya, mulai hilangnya etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah disadari sejak awal reformasi. Hal ini karena salah satu faktor penyebab runtuhnya rezim Orde Baru juga ialah masalah etika bernegara yang dilupakan. Tak dapat disangkal bahwa Orde Baru berhasil memajukan pembangunan fisik atau ekonomi, tetapi bersamaan dengan itu terjadi pula pengikisan atau pemiskinan nilai-nilai moral. Untuk mengembalikan dan meningkatkan etika bernegara pada tahun 2001 MPR membuat Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Ketetapan ini sesungguhnya saat ini masih berlaku, namun sayang telah dilupakan, bahkan oleh para pejabat negara. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 menentukan Etika Kehidupan Berbangsa meliputi: 1. Etika Sosial Budaya Etika sosial dan budaya bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami, saling menghargai, saling mencitai, dan saling menolong di antara sesama manusia dan warga bangsa. Perlu menumbuhkembangkan kembali budaya malu, yaitu malu berbuat kesalahan dan semua yang bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk itu juga perlu ditumbuhkan kembali budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin, baik formal maupun informal pada setiap lapisan masyarakat. 2. Etika Politik dan Pemerintahan Etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. 3. Etika Ekonomi dan Bisnis Persaingan yang jujur, berkeadilan, mendorong berkembangnya etos kerja ekonomi, daya tahan ekonomi dan kemampuan saing, dan terciptanya suasana kondusif untuk pemberdayaan ekonomi yang berpihak kepada rakyat kecil melalui kebijakan secara berkesinambungan. Etika ini mencegah terjadinya praktik-praktik monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang mengarah kepada KKN dan diskriminasi. Minimnya etika di bidang ini lebih menimbulkan akibat negatif seiring dengan munculnya dominasi kapitalisme yang bersandar pada premis kaum libertarian bahwa kebebasan hasrat manusia harus dijamin dan hanya dengan kebebasan hasrat itulah akan dicapai kemajuan di bidang ekonomi. Intinya, kapitalisme percaya bahwa nafsu keserakahan (greed) manusia-lah yang akan mendatangkan kemajuan. Oleh karena itu, tidak boleh ada batasan terhadap kebebasan keserakahan manusia ini, terutama kebebasan untuk berusaha menjalankan aktivitas ekonomi dengan segala cara. Premis mendasar kapitalisme tersebut memunculkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) keburukan. Pertama, persaingan bebas, dengan menghalalkan segala cara, yang menghasilkan pemusatan kekuasaan atau modal hanya pada segelintir orang. Karena keserakahan yang dibiarkan bebas, maka persaingan pun terjadi dan pemilik modal lebih besar keluar sebagai pemenang. Selain menimbulkan kesenjangan, pemusatan modal juga mengganggu keseimbangan pasar karena produksi tetap dijalankan sedangkan kemampuan membeli tidak ada. Krisis pun terjadi dan akan menjadi bagian dari kapitalisme itu sendiri. Kedua, perekonomian kapitalisme tidak berpijak pada perekonomian riil. Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan tidak selalu berbanding lurus dengan pertumbuhan industri atau perdagangan barang dan jasa. Banyak perdagangan yang bersifat semu dan berorientasi pada pemuas kesenangan serta mengejar keuntungan. Misalnya, perdagangan mata uang dan logam mulia. Perdagangan ini mengakibatkan nilai dan jumlah uang yang beredar “seolah- olah” semakin besar dan bertambah nilainya, namun tidak diiringi pertumbuhan sektor riil. Suatu saat, tentu akan mengalami puncak dan ambruk karena tidak memiliki aktivitas ekonomi riil sebagai dasarnya. Ketiga, sistem yang mengumbar keserakahan dan persaingan bebas yang menghalalkan segala cara telah merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara, terutama maraknya praktik korupsi. 4. Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan Dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak pada keadilan. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin tegaknya supremasi dan kepastian hukum sejalan dengan upaya pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warganegara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.. 5. Etika Keilmuan Etika ini dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga harkat dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya. Etika ini diwujudkan secara pribadi ataupun kolektif dalam karsa, cipta, dan karya, yang tercermin dalam perilaku kreatif, inovatif, inventif, dan komunikatif dalam kegiatan membaca, belajar, meneliti menulis, berkarya, serta menciptakan iklim kondusif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 6. Etika Lingkungan Etika lingkungan menegaskan pentingnya kesadaran menghargai dan melestarikan lingkungan hidup serta penataan tata ruang secara berkelanjutan dan bertanggungjawab. Etika, sebagai ajaran-ajaran moral yang menunjukkan sikap dan perilaku yang baik dan buruk merupakan ajaran yang bersifat konstan sehingga persoalan sesungguhnya adalah bagaimana menanamkan etika, mengontekstualisasikan, dan mengaktualisasikan dalam realitas kehidupan bernegara. Untuk itu, memperkuat etika berbangsa dapat dilakukan melalui pendidikan ajaran nilai dan moral yang menjadi sumber etika serta aktualisasinya dalam kehidupan bernegara. Di dalam Ketetapan Nomor VI/MPR/2001 ditentukan pula arah kebijakan untuk memperkuat etika bernegara adalah: a. Mengaktualisasikan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pendidikan formal, informal, dan nonformal dan pemberian contoh keteladanan oleh para pemimpin negara, pemimpin bangsa, dan pemimpin masyarakat. b. Mengarahkan orientasi pendidikan yang mengutamakan aspek pengenalan menjadi pendidikan yang bersifat terpadu dengan menekankan ajaran etika yang bersumber dari ajaran agama danbudaya luhur bangsa serta pendidikan watak dan budi pekerti yang menekankan keseimbangan antara kecerdasan intelektual, kematangan emosional dan spiritual, serta amal kebajikan. c. Mengupayakan agar setiap program pembangunan dan keseluruhan aktivitas kehidupan berbangsa dijiwai oleh nilai-nilai etika dan akhlak mulia, baik pada tahap perencanaan,pelaksanaan, maupun evaluasi. Atas dasar itu semua, harus ada upaya untuk membebaskan bangsa dari situasi dan lilitan bahaya ini. Untuk menyelamatkan negara dan bangsa dari kehancuran akibat perilaku minim etika, sebaiknya kita harus segera mengembalikan etika dan moral keadilan publik ke dalam setiap bidang kehidupan kita. Secara kolektif kita harus segera menyadari kembali bahwa semua perilaku dan tindakan kita haruslah berbasis pada etika dan moral dan mendudukannya sebagai ukuran paling penting. Sebab secara kodrat, dimensi-dimensi etis dan keluhuran bangsa ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kultur dan jati diri bangsa. Semua cara tentu harus ditempuh untuk memperkuat etika bernegara. Namun, terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan. Pertama, pendidikan etika merupakan pendidikan karakter yang berbeda dengan pendidikan sebagai transfer pengetahuan. Dalam prosespendidikan karakter ini peran keteladanan jauh lebih besar dibanding dengan proses verbal. Perilaku dosen dan pimpinan perguruan tinggi lebih besar pengaruhnya terhadap pembentukan etika mahasiswa dibanding kuliah tentang etika di kelas. Keteladanan dalam menegakkan kejujuran ilmiah dan keberanian dalam menegakkan kebebasan akademik serta kebebasan mimbar akademik menjadi hal yang sangat penting untuk ditumbuhsuburkan di kampus-kampus. Demikian pula, keteladanan aparat dan pimpinan pemerintahan akan berpengaruh lebih tinggi terhadap upaya memperkuat etika bernegara di kalangan masyarakat dibanding dengan model penataran, berapa jam pun penataran itu diberikan. Kedua, persoalan etika bernegara tidak dapat diselesaikan hanya oleh negara dan para aparatnya.Negara dalam geraknya diwakili oleh aparat yang juga merupakan anggota masyarakat. Dengan sendirinya perubahan etika bernegara yang terjadi di kalangan aparat sesungguhnya mencerminkan perubahan yang terjadi di masyarakat. Sebaliknya, aparat dan pimpinan adalah model bagi anggota masyarakat. Semuanya saling terkait sehingga harus dilakukan secara simultan. Di era demokrasi saat ini, masyarakat memiliki peran besar untuk menentukan pemimipin yang beretika sekaligus mampu memperkuat etika berbangsa dan bernegara. Untuk dapat melakukan hal ini, tentu harus ada kesadaran terlebih dahulu di kalangan masyarakat serta organisasi masyarakat dan politik tentang pentingnya etika berbangsa dan bernegara. Atas dasar itulah, nilai-nilai etika dan moral harus benar-benar hidup di dalam sanubari dan kehidupan kita. Sebab, apapun itu, kalau tidak bersumber atau dilandasi oleh etika dan moral, akan berpotensi besar membahayakan masa depan dan menggagalkan tujuan kitamewujudkan kehidupan bangsa dan negara yang demokratis, berkeadaban, dan berkeadilan.