This essay has been submitted by a student. This is not an example of the work written by professional essay writers.
Uncategorized

DEMOKRASI ADALAH BENTUK ATAU MEKANISME SISTEM

Pssst… we can write an original essay just for you.

Any subject. Any type of essay. We’ll even meet a 3-hour deadline.

GET YOUR PRICE

writers online

DEMOKRASI ADALAH BENTUK ATAU MEKANISME SISTEM

Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara ) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.Semua warga Negara memiliki hak yang setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara ( eksekutif , yudikatif dan legislatif ) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas ( independen ) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances . Demokrasi menjadi pilihan bangsa Indonesia sejak awal berdirinya. Perkembangan sistem demokrasi berlangsung sejak tahun 1945 hingga masa sekarang. Perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami beberapa kali perubahan konsepsi. Dalam fase awal sejarah Indonesia modern, upaya untuk mengkonsepsikan demokrasi bermuara pada dua arus pemikiran besar tentang demokrasi yang berkembang di Barat. Pertama, demokrasi liberal yang berakar pada semangat pluralisme di mana rakyat diberikan peluang yang besar untuk menentukan jalannya negara. Model ini menempatkan peran negara secara minimal hanya sebagai pelaksana kehendak bebas rakyat. Kedua, demokrasi sosial yang berakar pada semangat integralisik. Model ini menempatkan negara dalam sifat organistik sehingga memiliki peran yang lebih besar dalam bidang-bidang sosial dan ekonomi. Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi demokrasi, untuk di Asia Tenggara Indonesia adalah negara yang paling terbaik menjalankan demokrasinya, mungkin kita bisa merasa bangga dengan keadaan itu. Didalam praktek kehidupan kenegaraan sejak masa awal kemerdekaan hingga saat ini, ternyata paham demokrasi perwakilan yang dijalankan di Indonesia terdiri dari beberapa model demokrasi perwakilan yang saling berbeda satu dengan lainnya. Orde Baru lahir dari tekad untuk melakukan koreksi total atas kekurangan sistem politik yang telah dijalankan sebelumnya. Dengan kebulatan tekad atau komitmen dari segala kekurangan pada masa sebelumnya, Orde Baru merumuskan tujuannya secara jelas yakni melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Sejak permulaan Pemerintahan Orde Baru tahun 1966, yang sejalan dengan pergeseran pusat perhatian dari masalah pembinaan bangsa ke masalah pembangunan ekonomi, muncul perhatian yang serius untuk menata kembali suatu sistem politik yang diharapkan akan dapat menunjang kegiatan pembangunan ekonomi tersebut. Dalam membangun sistem potitik yang dapat menjamin stabilitas sebagai prasyarat pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan sebagaimana tercermin dalam pembangunan Nasional Jangka Panjang Pertama mulai di lakukan juga serangkaian usaha untuk menyehatkan kembali birokrasi pemerintahan sebagai instrumen penting yang akan menopang dan mempelancar usaha-usaha pembangunan (ekonomi) tersebut. Ini berarti usaha 2 menciptakan suatu sistem birokrasi modern yang efisien dan efektif. Masa Orde Baru merupakan suatu masa pemerintahan terlama di negara Indonesia yang berlangsung kurang lebih selama 30 tahun. Pergantian kepemimpinan dari tangan Soekarno ke Soeharto menandakan berakhirnya Orde Lama dan dimulainya Orde Baru. Pada masa Orde Baru konsep demokrasi yang diterapkan di Indonesia seakan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, karena pada masa Orde Baru seluruh rakyat Indonesia diharuskan untuk mematuhi setiap keputusan yang dikeluarkan oleh presiden. Pemerintahan Orde Baru adalah suatu penataan kembali seluruh kehidupan bangsa dan negara serta menjadi titik awal koreksi terhadap penyelewengan pada masa yang lalu. Orde Baru bisa diartikan sebagai orde yang mempunyai sikap dan tekad mendalam untuk mengabdi kepada rakyat serta mengabdi kepada kepentingan nasional yang didasari oleh falsafah Pancasila dan menjunjung tinggi asas serta sendi Undang-undang Dasar 1945. “Orde Baru juga bisa diartikan sebagai masyarakat yang tertib dan negara yang berdasarkan hukum, dimana terdapat keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat serta warga negara mempunyai pemimpin atau penguasa yang tunduk kepada ketentuan yang berlaku” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini nantinya adalah mengenai bagaimana perkembangan demokrasi di Indonesia dari masa ke masa. 1. Bagaimana sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia? 2. Bagaimana keadaan demokrasi di Indonesia saat pemerintahan Orde Baru? Pembahasan Babak akhir pemerintahan Orde Lama adalah periode demokrasi terpimpin . Demokrasi terpimpin lahir karena kegagalan kabinet Djuanda yang mengakibatkan pertentangan politik maupun ideologi dalam pemerintahan yang kemudian muncullah suatu konsepsi dari Presiden Soekarno yaitu “demokrasi terpimpin”. Untuk melaksanakan konsepsi dari Presiden Soekarno tersebut, Djuanda mengusulkan untuk “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945”. Pokok-pokok pikiran dalam UUD 1945 kembali diberlakukan dan ditambah dengan beberapa poin-poin penting. Usul dari Djuanda pun diterima oleh Presiden Soekarno yang kemudian Presiden membicarakan masalah tersebut dengan Mr. Moh Yamin, Mayjen Nasution dan Dr. Lemeina. Usul dari Djuanda tersebut juga disetujui oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), Menteri kabinet, dan juga partai-partai besar seperti PNI (Partai Nasional Indonesia), NU (Nathadul Ulama), Masyumi, serta partai-partai kecil lainnya. Keadaan konstituante yang carut marut karena tidak ditemukannya mayoritas suara dalam pemungutan suara mengakibatkan ketegangan politik dalam konstituante yang mengakibatkan konstituante harus dibubarkan. Pembubaran konstituante ditakutkan dapat mengakibatkan carut marutnya keadaan dalam masyarakat. Maka dari itu, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang ditandatangani pada 5 Juli 1959. Dekrit presiden 5 Juli 1959 mengubah secara mendasar struktur tata pemerintahan negara. Dekrit tersebut memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS. Sedangkan kabinet presidensial pertama adalah kabinet Karya yang disertai dengan pembentukan departemendepartemen baru dalam pemerintahan. Persoalan di seputar demokrasi bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah dan dapat tumbuh dengan sendirinya dalam kehidupan bangsa. persoalan demokrasi adalah semata-mata merupakan penciptaan manusia, yang di satu sisi mencerminkan keterbatasan dan keharmonisan obyektif di luar diri manusia. Beranjak dari semangat dan kerangka proposisi di atas, maka melumernya corak demokratik dan egaliter sebagai cita-cita sesungguhnya budaya Indonesia sangatlah dipengaruhi oleh perkembangan sosial, ekonomi dan politik di Indonesia. Dapat diambil contoh kasus ketika terjadinya proses pemindah-alihan kekuasaan beamtenstaal Belanda ke tangan Republik, ternyata justru tidak membawa perubahan yang berarti. Perubahanperubahan yang terjadi lebih banyak bergerak pada peringkat estesis-simbolik ketimbang etissubstantif. Semangat egaliterian budaya demokratik yang terpatri dalam angan-angan masyarakat menjadi sirna, setelah pernyataan kemerdekaan dicoba untuk diwujudkan secara politik dalam bentuk pilihan pada demokrasi liberal dan parlementer, dan secara ekonomis dalam bentuk pilihan terhadap penciptaan kelas menengah pribumi yang kukuh. Obsesi dari pilihan politik dan ekonomi semacam ini adalah terbentuknya sistem ekonomi kapitalis yang mampu menopang tegaknya masyarakat berdaya (civil society). Jika hal ini dapat terwujud diharapkan demokrasi akan menampakkan dirinya secara nyata. Kegagalan praktek pembumian demokrasi liberal dan parlementer lalu direduksi sebagai kegagalan penerapan demokrasi ala Barat yang bertentangan dengan jati diri dan budaya bangsa Indoesia. Nampaknya sengaja diabaikan kenyataan bahwa kegagalan penerapan demokrasi ala Barat tersebut sesungguhnya lebih disebabkan oleh rapuhnya bangunan sistem politik yang berpijak pada ideologi-kultural dan keroposnya sistem ekonomi saat itu. Maka kemudian, Soekarno mencoba sistem Demokrasi Terpimpin, yang katanya menjadi demokrasi khas Indonesia. Sekalipun Soekarno mengatakan bahwa pemerintahannya menganut sistem demokrasi, namun praktik yang meluas dalam kehidupan bangsa dan negara justru adalah kekuasaan yang serba terpusat (sentralistik) pada diri Soekarno. Bung Karno selaku Presiden bahkan memperagakan pemerintahan diktator dengan membubarkan Konstituante, PSI, dan Masyumi serta meminggirkan lawanlawan politiknya yang kritis. Kekuasaan otoriter yang anti demokrasi pada masa Orde Lama itu akhirnya tumbang pada tahun 1965. Seiring dengan kegagalan pembumian demokrasi pada masa Orde Lama tersebut, unsurunsur ″di luar″ masyarakat secara perlahan-lahan tumbuh dan berkembang menjadi wahana tumbuhnya logika dan penjabaran baru budaya bangsa Indonesia. “Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar itulah yg menjadi titik awal lahirnyya Orde Baru” sebab dengan Supersemar itulah kemudian Soeharto membubarkan PKI dan mengambil tidakan-tindakan pembaharuan dan stabilisasi politik. Dan dengan Supersemar itulah sebenarnya kekuasaan Soekarno dengan sistem politik Demokrasi Terpimpin menjadi lenyap. Lenyapnya kekuasaan Soekarno kemudian diperkuat dengan ketetapan MPRS yang melalui sidang istimewa pada tahun 1967 mengangkat Letjen Soeharto sebagai Pejabat 3 Presiden, sehingga sebagai simbol pun Soekarno tidak diakui sebagai pemegang kekuasaan. Kemudian pada bulan Maret 1968 MPRS menganggkat dan melantik Letjen Soeharto sebagai Presiden. Pergantian kepemimpinan dari tangan Soekarno ke Soeharto menandakan berakhirnya Orde Lama dan dimulainya Orde Baru. Pada masa Orde Baru konsep demokrasi yang diterapkan di Indonesia seakan tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, karena pada masa Orde Baru seluruh rakyat Indonesia diharuskan untuk mematuhi setiap keputusan yang dikeluarkan oleh presiden. pemerintahan pada masa Orde Baru cenderung menerapkan konsep kekuasaan yang bersifat otoriter dan sentralistik. Setiap keputusan yang dihasilkan diatur oleh pemerintah pusat dan harus sesuai dengan keinginan presiden. Penerapan konsep kekuasaan yang bersifat otoriter dan sentralistik tersebut menjadikan rakyat Indonesia mau tidak mau harus menuruti setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah, meskipun keputusan tersebut terkadang menguntungkan salah satu pihak. Pada masa Orde Baru kebebasan rakyat Indonesia untuk berpendapat sangat dibatasi, khususnya hal-hal yang menentang pemerintah akan ditindak secara tegas. Latar belakang Soeharto yang berasal dari kalangan militer, mempengaruhi gaya kepemimpinan yang diterapkan pada masa pemerintahannya dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang secara perlahan bergerak ke arah militeristik. Hal ini ditandai dengan diterapkannya dwifungsi ABRI di Indonesia pada masa Orde Baru. Dengan diterapkannya dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru menjadikan TNI khususnya Angkatan Darat tidak hanya turun dalam bidang pertahanan saja melainkan TNI juga bisa ikut terjun dalam dunia politik. Diterapkannya Dwifungsi ABRI menyebabkan hampir seluruh tatanan pemerintahan yang ada pada saat itu dipegang oleh kekuatan militer. Dengan kata lain, TNI menyebar di seluruh Indonesia sehingga keamanan di Indonesia bisa terkontrol secara langsung oleh TNI khususnya Angkatan Darat. Namun, tersebarnya aparat keamanan hampir ke seluruh tatanan pemerintahan di Indonesia tidak serta merta menjadikan Indonesia aman dari berbagai kerusuhan atau gerakan terorisme. Fakta nya, selama masa Orde Baru berlangsung terjadi beberapa kerusuhan atau tindakan-tindakan kriminal yang menyebabkan kerusakan sarana umum bahkan menelan korban jiwa seperti peristiwa gerakan anti China, peristiwa Malari, Tanjung Priok dan lain sebagainya. Keterlibatan militer dalam penyusunan agenda Orde Baru yang memang untuk menyiapkan militer memimpin rezim ini, berimbas besar terhadap berbagai lini kehidupan masyarakat sepanjang masa Orde Baru. Militer dilibatkan dalam setiap institusi yang dibangun Orde Baru untuk menunjang dan menjalankan kekuasaannya. Terutama dalam bidang politik dan ekonomi, militer menjadi peran utama. Untuk menyingkirkan sisa-sisa pengaruh Soekarno dan unsur PKI dalam pemerintahan, maka usaha yang dilakukan Orde Baru adalah mengamankan agenda Politik Pemilu yang direncanakan pada tahun 1968 dari partai-partai lama yang diduga masih tersimpan sisa-sisa pengaruh Soekarno. Dari sini munculah konsep perombakan struktur politik bahwa penataan kehidupan politik yang dirancang pada awal Orde Baru diarahkan agar secepat mungkin dapat dicapai stabilisasi kehidupan politik dan penyederhanaan struktur kepartaian, introduksi pengangkatan dalam anggota DPR dan MPR, dan format Pemilu berikut 12 item consensus tentang itu yang dicapai antara kekuatan- kekuatan politik sipil dari partai, kalangan ABRI (TNI-AD), dan pemerintah dibuat dalam rangka mendukung ide stabilisasi politik dan ekonomi tersebut. Angkatan Darat Indonesia berbeda dengan kebanyakan angkatan darat pada umumnya yang telah merebut kekuasaan politik, karena tidak pernah sebelumnya menganggap diri sebagai suatu organisasi yang tidak berpolitik. Dari awal sejarahnya dalam tahun 1945 sebagai tentara gerilya yang memerangi kembalinya kekuasaan penjajah Belanda sampai konsolidasi kekuasaan politiknya di bawah Orde Baru. Dengan keikutsertaan sepenuhnya dalam perjuangan nasional melawan kekuasaan belanda itu, kebanyakan perwira tersebut merasa bahwa suara mereka harus didengar dalam urusan politik di masa sesudah kemerdekaan. Sesudah berlaku undang-undang keadaan perang tahun 1957, hak peran serta mereka itu diberi pengakuan resmi melalui pengangkatan-pengangkatan dalam kabinet, parlemen dan administrasi. Semasa zaman Demokrasi Terpimpin, Angkatan Darat menjadi salah satu dari dua kekuatan politik penting yang terorganisasi, dan bersama dengan Presiden Soekarno menguasai politik dewasa itu. Akhirnya pembersihan angkatan Darat terhadap PKI tahun 1965 dan keberhasilannya dalam menurunkan Presiden Soekarno dari kedudukannya, menjadikan Angkatan Darat sebagai kekuatan dominan satu-satunya di atas punggung politik Indonesia. Dwifungsi ABRI menjadi dasar legitimasi bagi peran sosial politik ABRI dimana cikal bakal dari pemikiran itu ialah konsepsi Nasution tentang Jalan Tengah ABRI pada 1985, yang intinya pemberian kesempatan kepada ABRI, sebagai salah satu kekuatan politik bangsa, untuk berperan serta di dalam pemerintahan atau dasar Asas Negara Kekeluargaan. Atas dasar konsepsi tersebut Dwifungsi ABRI memberikan pembenaran bagi ABRI tidak hanya berperan di bidang hankam tetapi juga dibidang sosial politik. Kedua peran ABRI yakni peran di bidang hankam dan bidang sosial politik juga disebut sebagai fungsi-fungsi ABRI, oleh sebab itu ABRI menjalankan kedua fungsinya secara bersamaan sehingga ABRI tidak saja menjalankan fungsi hankam tetapi juga sosial politik yang memberikan peluang bagi anggota ABRI untuk memangku jabatan sipil tanpa meninggalkan statusnya sebagai anggota ABRI. Dan menurut pemahan Orde baru mengenai Dwifungsi ABRI yaitu keikutsertaan ABRI dalam politik penyelenggaraan kekuasaan negara, yang lahir pada masa perang kemerdekaan. Dari segi historis tersebut ABRI merasa memiliki kewajiban dalam mempertahankan dan menjaga Indonesia dengan ikut serta berperan disegala bidang kehidupan. Dimana fungsi non-hankam ABRI ini lebih dikenal dengan peran sosial politik ABRI. Pada masa pemerintahan Orde Baru keterlibatan militer tidak hanya mendominasi peran sosial politik saja juga dibidang ekonomi. Dengan tujuan agar dapat menjamin mengalirannya dana tang tetap ke kas Angkatan Darat, sehingga banyak perwira AD yang ditugaskan di berbagai sektor ekonomi, seperti perusahaan minyak negara yaitu Pertamina yang merupakan salah satu BUMN yang dipakai AD untuk mengisi kas mereka dan perusahaan lainnya yaitu Bulog (Badan Urusan Logistik). Sehingga keterlibatan militer dalam fungsinya sebagai kekuatan sosial politik dalam upaya membangun bangsa bukan untuk memperoleh jabatan diluar bidangnya atau jabatan sipil Pada masa Orde Baru, diinterpretasikan bahwa budaya politik dijabarkan sedemikian rupa sehingga negara bertindak sebagai aktor tunggal dan sentral. Logika penempatan negara sebagai aktor tunggal ini terartikulasi melalui pengesahan secara tegas dan mutlak bagi sentralitas negara dengan seluruh perangkat birokrasi dan militernya demi kepentingan pembangunan ekonomi dan politik. Di sinilah kemudian terjadi proses penyingkiran corak egaliter dan demokratik dari budaya bangsa Indonesia dan kemudian digantikan oleh corak feodalistik, yang dimungkinkan karena dua hal pokok. Pertama, melalui integrasi, pembersihan dan penyatuan birokrasi negara dan militer di bawah satu komando. Upaya ini membuka jalan bagi penjabaran dan pemberian logika baru dalam feodalisme budaya bangsa Indonesia secara nyata dan operasional. Jabaran dan logika baru ini semakin menemukan momentumnya berkaitan dengan kenyataan di masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi yang sangat parah di satu pihak, dan obsesi negara untuk membangun pertumbuhan ekonomi sebagai peletak dasar penghapusan kemiskinan di lain pihak. Kedua, pengukuhan negara qua negara juga dilakukan melalui upaya penyingkiran politik massa. Partisipasi politik yang terlalu luas dan tidak terkontrol, dianggap dapat membahayakan stabilitas politik yang merupakan conditio sine qua non bagi berlangsungnya pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, keterlibatan negara melalui aparat birokrasi dan militer diabsahkan hingga menjangkau ke seluruh aspek kehidupan masyarakat. Stabilitas pembangunan ekonomi lantas diidentikkan dengan stabilitas nasional. Perlahanlahan konsep stabilitas nasional diperluas menjadi logika anti-kritik dan anti konsep. Sebagai logika anti-kritik, stabilitas nasional dikaitkan dengan masalah-masalah security dan banyak berfungsi untuk membantu penyelenggaraan mekanisme kekuasaan negara. Sebagai logika anti konsep, stabilitas nasional dikaitkan dengan masalah legitimasi dan banyak berfungsi untuk mendukung seni mengelola otoritas kekuasaan negara. Yang terjadi kemudian adalah sentralisasi peran negara yang dipersonifikasikan lewat Soeharto, MPR, DPR, Pers, Partai Politik, Ormas dan hampir seluruh institusi sosial politik kenegaraan yang ″dipasung″ secara sistematik di bawah kendali negara oleh Soeharto. Yang lahir dalam situasi seperti itu adalah demokrasi semu, ″demokrasi jadi-jadian″. Paradoks demokrasi ini pada akhirnya juga runtuh pada tanggal 21 Mei 1998. Pada masa reformasi Indonesia sedang mengalami saat yang demokratis. Inisiatif politik yang dimotori oleh Amien Rais mendorong reformasi terus bergulir. Reformasi yang gegap gempita tersebut memberikan secercah harapan akan munculnya tata kehidupan yang benar-benar demokratis, yang ditandai dengan booming munculnya banyak parpol baru, kebebasan berserikat, kemerdekaan berpendapat, kebebasan pers, dan sebagainya, yang merupakan ciri-ciri demokrasi. Muncul tuntutan-tuntutan terhadap reformasi politik karena adanya optimisme perbaikan implementasi demokrasi. Ada tiga alasan munculnya optimisme semacam ini yaitu : (1) Meluasnya antusiasme terhadap reformasi; (2) Kedalaman krisis ekonomi yang dipercaya berakar pada korupsi dan kurangnya pertanggung jawaban yang meresapi sistem politik, sehingga reformasi demokratis diyakini merupakan solusi; (3) Perpecahan di kalangan elite politik yang berkuasa. Namun, di balik dinamika reformasi yang penuh akselerasi tinggi, nampaknya masih belum banyak kekuatan-kekuatan sosial politik yang benar-benar memiliki kesungguhan untuk menggelindingkan demokrasi. Sekalipun berbagai pranata bangunan demokrasi kini telah terbentuk, namun di sana sini paradoks demokrasi masih banyak dijumpai. Demokrasi yang dibangun dan dipahami lebih mengacu pada demokrasi yang bersifat prosedural kelembagaan ketimbang demokrasi yang mengacu pada tata nilai. Berbagai paradoks yang masih berkembang di era reformasi sering membuat kita untuk berpikir ulang dan mengedepankan pertanyaan kritis: Apakah masa transisi ini akan bisa dilewati dengan baik sehingga terbentuk consolidated democracy, atau kita gagal melaluinya sehingga yang muncul adalah consolidated anarchy yang dapat menggiring kita kembali pada sistem otoritarian dan militeristik? Setidaknya tercatat berbagai paradoks demokrasi yang patut dikritisi saat ini. 1. berkembangnya kekerasan politik, anarki, radikalisme, percekcokan massal yang sering dilanjutkan dengan adu fisik secara kolektif, pemaksaan kehendak, dan berbagai perilaku menyimpang lainnya yang justru mencerminkan perilaku anti demokrasi. Politik zero sum game (dan bukan win-win) dalam rangka menenggelamkan lawan politik menjadi praktek-praktek lazim yang menumbuhkan rasa takut untuk berbeda. Tumbuh ketakutan politik diam-diam di berbagai kalangan masyarakat, termasuk mereka yang kritis, hanya karena merasa berbeda dengan kekuatan politik yang ada. Demokrasi nyaris tidak menjadi sebuah alam pikiran dan kearifan untuk toleran terhadap perbedaan. Gejala monopoli untuk menang sendiri mulai marak, bahkan sampai ke bentuk fisik, dengan menggunakan simbul-simbul milik partai, kendati harus memakai berbagai fasilitas publik. 2. Berkembangnya konspirasi politik yang sangat pragmatis dengan mereka yang dulu anti demokrasi, yang diwarnai dengan semangat kental hanya sekedar demi meraih kemenangan Pemilu tanpa menunjukkan komitmen serius dalam mengagendakan demokrasi. 3. Demokrasi mulai dimasukkan hanya sekedar sebagai retorika politik ketimbang sebagai sebuah agenda politik. Ketika keseragaman pada Orde Baru dihujat habis-habisan, kini sebagian kekuatan demokratik berargumentasi bahwa demokrasi tidak harus selalu berisi perbedaan tetapi juga kesamaan. Ketika pilihan tunggal ala Orde Lama digugat, kini juga tumbuh retorika bahwa pilihan tunggal itu juga demokratik. Kesan yang tumbuh ialah bahwa demokrasi bukan lagi sebagai idealisme dan agenda yang harus diperjuangkan untuk mencerahkan kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi lebih sebagai alat dan isu untuk meraih kekuasaan 4. Kultus individu yang diperagakan oleh rezim Soeharto dengan berbagai simbolnya dihujat keras untuk dihabisi, kini sebagian masyarakat politik malahan memperagakan simbolisasi-simbolisasi figur kepemimpinan yang membawa warna kultus individu dalam bentuk lain. Simbol-simbol budaya politik Orde Baru bahkan mulai dibangkitkan kembali, seakan merupakan potret kehidupan politik yang benar. Berbagai upaya untuk membangun sentralisasi otoritas dengan mobilisasi simbolsimbol kharisma politik mulai dilakukan, dalam rangka memberikan kesan bahwa telah lahir sebuah potensi kepemimpinan baru yang sangat layak untuk memimpin Indonesia ke depan. Tidak jadi soal apakah kharisma politik itu nyata atau semu, yang penting ada pesona yang ditawarkan sebagai sebuah komoditas politik. Sejumlah ironi atau paradoks demokrasi yang muncul di permukaan era reformasi ini menunjukkan, betapa terjal jalan yang harus ditempuh oleh bangsa ini menuju demokrasi yang sesungguhnya. Bahwa, ternyata tidak mudah untuk mewujudkan demokrasi secara jujur, jernih dan bertanggung jawab, baik pada tingkat alam pikiran maupun lebih-lebih sebagai politik yang tersistem. Perjuangan demokrasi akhirnya harus berhadapan dengan godaan-godaan kekuasaan di tengah sejumlah jerat politik yang sebenarnya adalah anti demokrasi.

  Remember! This is just a sample.

Save time and get your custom paper from our expert writers

 Get started in just 3 minutes
 Sit back relax and leave the writing to us
 Sources and citations are provided
 100% Plagiarism free
error: Content is protected !!
×
Hi, my name is Jenn 👋

In case you can’t find a sample example, our professional writers are ready to help you with writing your own paper. All you need to do is fill out a short form and submit an order

Check Out the Form
Need Help?
Dont be shy to ask